Keindahan Budaya Papua, Tak Seindah Nasib Perajinnya
Zona Damai : SEBUAH topi khas Papua dengan hiasan bulu–bulu cantik burung Cenderawasih tergeletak di lantai keramik tanpa alas berlindung di balik tiang kokoh Bandar Udara Sentani, di sudut lain terlihat sebuah patung mumi berwarna hitam arang dengan tinggi sekitar 30 cm, sementara di atas selembar koran tersusun rapi gelang – gelang dari bia (kerang laut).
“ini sampel saja, kalau ada yang tertarik biasanya mereka pesan, nanti kami buatkan baru kami antar atau janjian dimana untuk ambil barangnya”, kata Timanus Kogoya, salah seorang penjaja handicraft khas Papua yang nekat mengais rejeki di area Bandara Sentani meski mengetahui bahwa sebenarnya mereka dilarang berjualan di lokasi tersebut.
“ini sampel saja, kalau ada yang tertarik biasanya mereka pesan, nanti kami buatkan baru kami antar atau janjian dimana untuk ambil barangnya”, kata Timanus Kogoya, salah seorang penjaja handicraft khas Papua yang nekat mengais rejeki di area Bandara Sentani meski mengetahui bahwa sebenarnya mereka dilarang berjualan di lokasi tersebut.
Ia mengaku tergiur mengikuti jejak Dorlince Douw karena melihat betapa sering kali banyak pelancong luar daerah yang mencari oleh – oleh khas Papua, khususnya ukiran, patung maupun handicraft lainnya.
“Banyak orang yang kagum dan peduli bahkan tertarik dengan kami punya karya dan budaya, tapi kami heran justru di atas Tanah ini tidak ada keberpihakan dan mendukung kami untuk memperkenalkan, yang ada orang non Papua yang dong dukung untuk menjajakan kami punya hasil karya,” katanya dengan nada ketus.
Menurutnya selama ini, tidak ada dukungan dan pemberdayaan terhadap mereka para perajin agara mereka bisa hidup sejahtera atau hidup layak dari hasil karya mereka, karena yang terjadi adalah lebih banyak orang luar yang mendulanag untung dan kekayaan dari keindahan budaya Papua yang mereka miliki. “budaya kami hanya jadi kebanggaan saja, tapi dia pu` keindahan ini belum bisa kami nikmati dalam kehidupan yang sejahtera, karena orang luar yang lebih banyak ambil untung, kami tidak bisa apa – apa”, katanya lagi.
Timanus sangat berharap Pemerintah Daerah bisa memberikan dukungan kepada mereka dengan menyediakan area khusus untuk menjajakan handicraft dan cindera mata khas Papua di seputar Bandara, pertimbangannya memilih menjajakan karya seni dan budaya Papua di area Bandara karena menurutnya lebih dekat kepada para pelancong.
“Walau kami harus main sembunyi dengan petugas di Bandara, tapi disini masih lebih ada harapan buat kami, karena kami tidak mungkin bersaing dengan para pedagang di luar sana kayak di Hamadi, karena mereka ada modal sedangkan kami ini, membuat kerajinan sekedar untuk memenuhi makan minum bukan untuk kejar untung,” jelas Timanus di dampngi dua orang kerabatnya.
Baik Timanus Kogoya maupun Dorlince Douw adalah dua potret sumber daya manusia Papua yang terabaikan dan tidak mendapat perhatian Pemerintah di tengah ramenya semangat pemberdayaan masyarakat Papua yang rame di dengang – dengungkan oleh Pemerintah.
Dengan sejumlah keterbatasan, mereka masih tetap semangat dan tidak mengharapkan pamrih memperkenalkan dan memperlihatkan eksistensi karya dan seni budaya Papua kepada orang luar, meski di tanah mereka sendiri, mereka dianggap tidak lebih dari pengganggu ketertiban dan merusak keindahan suatu kawasan seperti area Bandara.
Bicara masalah keterampilan, baik Dorlince maupun Timanus tidak diragukan lagi memiliki kemampuan untuk berproduksi, yang mereka butuhkan saat ini adalah bagaimana potensi dan keberadaan mereka diakui dan mendapat dukungan dari Pemerintah.
Mereka berdua berharap, kiranya eksistensi seni dan budaya bisa mereka tunjukkan terus – menerus dan mereka menginginkan agar mereka lah yang menjadi pelaku dan yang mempromosikan budaya Papua, sehingga tidak langsung akan mendongkrak martabat dan harga diri mereka bukan hanya dalam hal kebudayaan namun juga dalam hal pendapatan.”Kami berharap Pemerintah sediakan ruang khusus untuk kami, biar kami dan beberapa perajin lainnya bisa menjual hasil karya kami, bahkan kami bisa praktek di tempat agar ;para pelancong juga bisa melihat proses pembuatannya, jadi jangan orang luar yang menjual dan cari untung dari kami punya karya, sekarang tergantung Pemerintah, mereka lihat kami ini penting atau tidak ?”, kata Dorlince dan Timanus.
Mereka berdua berharap, kiranya eksistensi seni dan budaya bisa mereka tunjukkan terus – menerus dan mereka menginginkan agar mereka lah yang menjadi pelaku dan yang mempromosikan budaya Papua, sehingga tidak langsung akan mendongkrak martabat dan harga diri mereka bukan hanya dalam hal kebudayaan namun juga dalam hal pendapatan.”Kami berharap Pemerintah sediakan ruang khusus untuk kami, biar kami dan beberapa perajin lainnya bisa menjual hasil karya kami, bahkan kami bisa praktek di tempat agar ;para pelancong juga bisa melihat proses pembuatannya, jadi jangan orang luar yang menjual dan cari untung dari kami punya karya, sekarang tergantung Pemerintah, mereka lihat kami ini penting atau tidak ?”, kata Dorlince dan Timanus.
Kepala Bandara Sentani, Ir. Sukardjo Widjojo kepada Bintang Papua per SMS ketika ditanyakan tentang kebijakannya sebagai pengelola Bandara terhadap keberadaan para penjual handicraft khas Papua yang mulai bermunculan di area Bandara mengaku sedang di Jakarta dan hanya menjawab dengan pesan singkat, “kalau mau konfirmasi tentang itu semua akan ditata setelah renovasi gedung terminal selesai,” jawabnya melalui SMS.
Semoga saja, berkaca dari dua sosok pengrajin asli Papua yang saat ini masih menggelosor di emperan Bandara demi memamerkan dan memperkenalkan keindahan budaya Papua, untuk masa yang akan datang kehidupan mereka juga bisa lebih indah dari budaya mereka sendiri. [Binpa]